Enam kaki
Sore ini aku turun dari mobil, di tempat yang paling aku benci.
Pertama kali aku ke sini ketika kakekku meninggal. Sungguh sebuah pemakaman yang lebih megah dari pada semua pesta seumur hidupnya... itu yang diceritakan nenekku.
Aku tidak melihat orangtuaku di pemakaman kakek. Ada yang bilang mereka tewas saat negara ini dibombardir musuh. Ada yang bilang mereka dieksekusi karena bekerja untuk musuh. Tapi ada yang bilang juga mereka berpisah dan memiliki keluarga bahagia mereka masing-masing, dan aku dititipkan ke nenekku.
Aku suka versi terakhir.
Aku berangkat remaja sebagai seorang anak yang memiliki satu kaki polio. Beruntung aku adalah salah satu bangsawan. Jangan coba-coba menghinaku, kalau tidak mau menanggung akibatnya. Hahaha... gaya sekali aku saat itu.
Nenekku menyediakan semua kebutuhanku. Mulai dari sopir, penjaga, suster dan sampai yang bertugas memandikan aku.
Tapi ada satu anak di sekolah yang terlihat tidak "segan" padaku. Dia memperlakukanku sama seperti dia memperlakukan temannya yang lain, walaupun aku tidak melihat ada yang berteman dengannya. Yang lain suka memanggil dia "si gila" karena jawabannya lebih sering lebih pintar daripada jawaban guru, walaupun itu memusingkan murid-murid yang lain.
Dan terkadang aku menganggapnya tolol karena berbagi bola denganku saat pelajaran olahraga.
Kesombonganku membuatku tidak pernah bertanya nama orang duluan.
Dan seperti yang lainnya, dia pun memperkenalkan diri terlebih dahulu ,"Hai, aku Maurice. Boleh kulihat kakimu?"
Sungguh pertanyaan kurang ajar!
Tapi tidak pernah ada yang bertanya kepadaku di sekolah ini selain guru.
Lalu kuperlihatkan kakiku yang kecil sebelah. Dengan penuh penasaran dia memencet-mencetnya seolah tidak percaya bahwa sesuangguhnya itu adalah kaki biasa. Aku menahan tangannya. Dia melihatku dengan wajah ketakutan. Aku tersenyum. Lalu kami tertawa terbahak-bahak bersama.
Tawaku yang pertama sejak pemakaman kakekku.
Sejak saat itu kami menjadi sepasang sahabat. Sepasang orang aneh yang dijauhi dari pergaulan. Maurice karena ketidakbiasaannya... aku karena... menakutkan?
Maurice adalah anak yang kreatif. Dia memiliki pandangan yang berbeda dengan kebanyakan orang. Di saat korban perang yang kakinya tertembak harus diamputasi, dia berkata bahwa seharusnya kaki itu bisa disambung. Tapi apalah arti ocehan seorang anak sekolah tinggi?
Tapi ide itu membuatku tergelitik untuk bertanya... "apakah hal itu memungkinkan?"
"Hahaha... tentu tidak. Bahkan dengan pengetahuanku, biaya untuk amputasi jauh lebih murah daripada biaya untuk membuat kaki palsu. Dan kamu pikir ada yang mau mengirim tentara berangkat perang dengan kaki palsu?"jawabnya.
"Coba padaku!" seruku.
"Maksudmu...?"
"Ya, coba sempurnakan kakiku yang polio ini dengan ilmu yang kau punya. Kau tidak yakin aku mampu bayar? Kalau ini berhasil, aku bahkan bersedia membuat pabrik bersamamu!"
Lalu dimulailah proses menyakitkan itu. Sebuah proses seolah tanpa akhir yang dikarenakan belum adanya anestesi di daerah kami. Tapi aku tidak menyesali sedetik pun dari proses itu. Aku yakin Maurice bisa. Dan dalam keadaan antara hidup dan mati aku menyadari bahwa aku mencintai Maurice.
"Hah? Apa kau bilang?" tanya Maurice.
Rupanya kata-kata di pikiranku tadi terucap keras. Bagaimana ini?
"Aku juga mencintaimu!" sambung Maurice.
Lalu semua rasa sakit itu hilang...
damai...
Entah berap lama aku pingsan, sepertinya cukup lama, karena kamar sudah rapih. Tidak ada sisa-sisa "operasi" kami. Dan Maurice menunggu dengan cemas di pojok ruangan.
"Hai.." kataku lemas.
Maurice tidak menjawab. Dia melonjak kegirangan dan memelukku lama sekali. Tapi aku tak sabar untuk bangun.
Dan aku bangun.
Langkah-langkah sempurnaku di atas kedua kakiku yang dibantu rangka kaki maha karya Maurice.
Aku lupa semua rasa sakit sebelumnya. Aku lupa beratnya hidup sebagai orang pincang. Ini adalah aku yang baru.
Maurice merangkulku dan mengajakku bercermin... sungguh sebuah pemandangan yang indah. Seperti gambar-gambar pernikahan. Ingin rasanya kunikahi pria ini.
Seminggu kemudian, kami menikah.
Lalu kami membangun pabrik, sesuai janjiku.
Maurice menjadi terkenal. Penemuannya membawa dia ke berbagai penjuru dunia. Dia adalah si penyelamat. Semua orang mendengarkan apa saja yang dia bilang mungkin. berbagai macam teori bahkan tentang sesuatu yang belum tentu ada.
Sementara aku hanyalah seorang gadis yang kini bisa berdiri normal.
Bulan keempat pernikahan kami. Maurice mendapat kabar dari dokter bahwa ada ganguan dengan rahimku. Aku keguguran. Dan rahimku harus diangkat.
Maurice murka! Dia melakukan percobaan demi percobaan untuk "menormalkan" kembali diriku. Tapi aku menyerah. Aku lelah berjuang antara hidup dan mati di setiap percobaannya.
Aku mengancam akan menutup pabrik kami kalau dia bersikeras untuk meneruskan usahanya. Dia tidak takut. Begitu pula aku.
Pabrik pun ditutup. Menjadi tidak lebih dari onggokan sampah tanpa para pekerjanya. Maurice semakin depresi. Segala ilmunya tidak bisa menyelamatkan satu-satunya yang dia inginkan. Seorang anak.
Maurice pun pergi meninggalkan rumah untuk waktu yang lama.
Aku sedang menikmati hari tuaku bersama para kolega di puriku. Berdansa lincah di atas kaki palsu yang mulai kekecilan. Waktu tiba-tiba salah satu anggota baruku berkata bahwa Maurice ditemukan di sebuah desa.
Dan sekarang aku di sini, menatap peti mati yang sedang ditaburi tanah.
Berisikan orang yang pernah kusayang, yang lebih rela hatinya diberikan pada mahluk buatannya dari pada untukku.
Tidak akan ada yang mengenang dirinya lagi. Bahkan nisannya pun tidak bertuliskan Maurice, melainkan nama tenarnya... Mogrid, Maurice dan Ingrid,
-Nyonya Gridi-
Pertama kali aku ke sini ketika kakekku meninggal. Sungguh sebuah pemakaman yang lebih megah dari pada semua pesta seumur hidupnya... itu yang diceritakan nenekku.
Aku tidak melihat orangtuaku di pemakaman kakek. Ada yang bilang mereka tewas saat negara ini dibombardir musuh. Ada yang bilang mereka dieksekusi karena bekerja untuk musuh. Tapi ada yang bilang juga mereka berpisah dan memiliki keluarga bahagia mereka masing-masing, dan aku dititipkan ke nenekku.
Aku suka versi terakhir.
Aku berangkat remaja sebagai seorang anak yang memiliki satu kaki polio. Beruntung aku adalah salah satu bangsawan. Jangan coba-coba menghinaku, kalau tidak mau menanggung akibatnya. Hahaha... gaya sekali aku saat itu.
Nenekku menyediakan semua kebutuhanku. Mulai dari sopir, penjaga, suster dan sampai yang bertugas memandikan aku.
Tapi ada satu anak di sekolah yang terlihat tidak "segan" padaku. Dia memperlakukanku sama seperti dia memperlakukan temannya yang lain, walaupun aku tidak melihat ada yang berteman dengannya. Yang lain suka memanggil dia "si gila" karena jawabannya lebih sering lebih pintar daripada jawaban guru, walaupun itu memusingkan murid-murid yang lain.
Dan terkadang aku menganggapnya tolol karena berbagi bola denganku saat pelajaran olahraga.
Kesombonganku membuatku tidak pernah bertanya nama orang duluan.
Dan seperti yang lainnya, dia pun memperkenalkan diri terlebih dahulu ,"Hai, aku Maurice. Boleh kulihat kakimu?"
Sungguh pertanyaan kurang ajar!
Tapi tidak pernah ada yang bertanya kepadaku di sekolah ini selain guru.
Lalu kuperlihatkan kakiku yang kecil sebelah. Dengan penuh penasaran dia memencet-mencetnya seolah tidak percaya bahwa sesuangguhnya itu adalah kaki biasa. Aku menahan tangannya. Dia melihatku dengan wajah ketakutan. Aku tersenyum. Lalu kami tertawa terbahak-bahak bersama.
Tawaku yang pertama sejak pemakaman kakekku.
Sejak saat itu kami menjadi sepasang sahabat. Sepasang orang aneh yang dijauhi dari pergaulan. Maurice karena ketidakbiasaannya... aku karena... menakutkan?
Maurice adalah anak yang kreatif. Dia memiliki pandangan yang berbeda dengan kebanyakan orang. Di saat korban perang yang kakinya tertembak harus diamputasi, dia berkata bahwa seharusnya kaki itu bisa disambung. Tapi apalah arti ocehan seorang anak sekolah tinggi?
Tapi ide itu membuatku tergelitik untuk bertanya... "apakah hal itu memungkinkan?"
"Hahaha... tentu tidak. Bahkan dengan pengetahuanku, biaya untuk amputasi jauh lebih murah daripada biaya untuk membuat kaki palsu. Dan kamu pikir ada yang mau mengirim tentara berangkat perang dengan kaki palsu?"jawabnya.
"Coba padaku!" seruku.
"Maksudmu...?"
"Ya, coba sempurnakan kakiku yang polio ini dengan ilmu yang kau punya. Kau tidak yakin aku mampu bayar? Kalau ini berhasil, aku bahkan bersedia membuat pabrik bersamamu!"
Lalu dimulailah proses menyakitkan itu. Sebuah proses seolah tanpa akhir yang dikarenakan belum adanya anestesi di daerah kami. Tapi aku tidak menyesali sedetik pun dari proses itu. Aku yakin Maurice bisa. Dan dalam keadaan antara hidup dan mati aku menyadari bahwa aku mencintai Maurice.
"Hah? Apa kau bilang?" tanya Maurice.
Rupanya kata-kata di pikiranku tadi terucap keras. Bagaimana ini?
"Aku juga mencintaimu!" sambung Maurice.
Lalu semua rasa sakit itu hilang...
damai...
Entah berap lama aku pingsan, sepertinya cukup lama, karena kamar sudah rapih. Tidak ada sisa-sisa "operasi" kami. Dan Maurice menunggu dengan cemas di pojok ruangan.
"Hai.." kataku lemas.
Maurice tidak menjawab. Dia melonjak kegirangan dan memelukku lama sekali. Tapi aku tak sabar untuk bangun.
Dan aku bangun.
Langkah-langkah sempurnaku di atas kedua kakiku yang dibantu rangka kaki maha karya Maurice.
Aku lupa semua rasa sakit sebelumnya. Aku lupa beratnya hidup sebagai orang pincang. Ini adalah aku yang baru.
Maurice merangkulku dan mengajakku bercermin... sungguh sebuah pemandangan yang indah. Seperti gambar-gambar pernikahan. Ingin rasanya kunikahi pria ini.
Seminggu kemudian, kami menikah.
Lalu kami membangun pabrik, sesuai janjiku.
Maurice menjadi terkenal. Penemuannya membawa dia ke berbagai penjuru dunia. Dia adalah si penyelamat. Semua orang mendengarkan apa saja yang dia bilang mungkin. berbagai macam teori bahkan tentang sesuatu yang belum tentu ada.
Sementara aku hanyalah seorang gadis yang kini bisa berdiri normal.
Bulan keempat pernikahan kami. Maurice mendapat kabar dari dokter bahwa ada ganguan dengan rahimku. Aku keguguran. Dan rahimku harus diangkat.
Maurice murka! Dia melakukan percobaan demi percobaan untuk "menormalkan" kembali diriku. Tapi aku menyerah. Aku lelah berjuang antara hidup dan mati di setiap percobaannya.
Aku mengancam akan menutup pabrik kami kalau dia bersikeras untuk meneruskan usahanya. Dia tidak takut. Begitu pula aku.
Pabrik pun ditutup. Menjadi tidak lebih dari onggokan sampah tanpa para pekerjanya. Maurice semakin depresi. Segala ilmunya tidak bisa menyelamatkan satu-satunya yang dia inginkan. Seorang anak.
Maurice pun pergi meninggalkan rumah untuk waktu yang lama.
Aku sedang menikmati hari tuaku bersama para kolega di puriku. Berdansa lincah di atas kaki palsu yang mulai kekecilan. Waktu tiba-tiba salah satu anggota baruku berkata bahwa Maurice ditemukan di sebuah desa.
Dan sekarang aku di sini, menatap peti mati yang sedang ditaburi tanah.
Berisikan orang yang pernah kusayang, yang lebih rela hatinya diberikan pada mahluk buatannya dari pada untukku.
Tidak akan ada yang mengenang dirinya lagi. Bahkan nisannya pun tidak bertuliskan Maurice, melainkan nama tenarnya... Mogrid, Maurice dan Ingrid,
-Nyonya Gridi-