Sayang Itu Penyakit
Sayang...
Sayang...
Orang pada ngomongin sayang.
Emang kalian tahu sayang itu apa?
Sayang itu penyakit.
Aku lahir di keluarga yang bisa dibilang berkecukupan, setiap hari bermain bersama kakak-kakakku.
Kalau tidak bermain ke kota menumpang Pak Seto yang disuruh ibu ke pasar, ya paling kami bermain di halaman kami yang berbatasan persis dengan hutan pinus.
Banyak yang menganggap tempat tinggal kami menyeramkan, ya karena hutan pinus itu. Tapi kami sudah terbiasa.
Oh iya, kakak yang paling besar bernama Jim, kakak yang kedua bernama Don. Kalian gak bakal mau tahu deh nama kepanjangan mereka, soalnya... jelek hihihi.
Saat aku berumur 10 tahun, Jim pulang membawa teman sekolahnya Syane sewaktu hujan deras. Untuk berteduh, katanya. Mungkin dia pikir aku bodoh, rumah kami kan di ujung jalan di pinggir kota, memangnya Syane tinggal melewati hutan pinus. Ah kamu Jim. Dipikirnya aku bodoh.
Hari itu Jim sibuk dengan teman barunya, aku bermain dengan Don. Kali ini Don mengajakku bermain perang-perangan dengan tentara-tentaraan yang dicatnya sendiri. Duh bagusnya... aku sampai takut memegangnya, takut catnya terkelupas.
Aku sangat menyukai satu tentara yang sangat gagah. Terbuat dari perak dengan tinggi kira-kira lima sentimeter. Berlapiskan cat berkilau warna biru dan merah, persis dengan warna tokoh komik kesukaanku.
Waktu demi waktu berlalu, Jim makin tidak pernah bermain dengan kami.
Entah kenapa mama sering sekali marah pada Don.
Seringkali kudengar mama bilang ,"mama pukul kamu karena mama sayang kamu!"
Aku gak ngerti.
Bukannya sayang itu tidak menyakiti ya?
"Sayang..."
"Sayang..."
Suara Jim memanggilku sambil berbisik.
"Kamu mau tentara mainan yang kamu sukai itu jadi milikmu?"
"Mau kak, mau!" jawabku cepat.
"Tapi kamu harus melakukan sesuatu buat buktiin kamu sayang kakak."
-Soka-
Sayang...
Orang pada ngomongin sayang.
Emang kalian tahu sayang itu apa?
Sayang itu penyakit.
Aku lahir di keluarga yang bisa dibilang berkecukupan, setiap hari bermain bersama kakak-kakakku.
Kalau tidak bermain ke kota menumpang Pak Seto yang disuruh ibu ke pasar, ya paling kami bermain di halaman kami yang berbatasan persis dengan hutan pinus.
Banyak yang menganggap tempat tinggal kami menyeramkan, ya karena hutan pinus itu. Tapi kami sudah terbiasa.
Oh iya, kakak yang paling besar bernama Jim, kakak yang kedua bernama Don. Kalian gak bakal mau tahu deh nama kepanjangan mereka, soalnya... jelek hihihi.
Saat aku berumur 10 tahun, Jim pulang membawa teman sekolahnya Syane sewaktu hujan deras. Untuk berteduh, katanya. Mungkin dia pikir aku bodoh, rumah kami kan di ujung jalan di pinggir kota, memangnya Syane tinggal melewati hutan pinus. Ah kamu Jim. Dipikirnya aku bodoh.
Hari itu Jim sibuk dengan teman barunya, aku bermain dengan Don. Kali ini Don mengajakku bermain perang-perangan dengan tentara-tentaraan yang dicatnya sendiri. Duh bagusnya... aku sampai takut memegangnya, takut catnya terkelupas.
Aku sangat menyukai satu tentara yang sangat gagah. Terbuat dari perak dengan tinggi kira-kira lima sentimeter. Berlapiskan cat berkilau warna biru dan merah, persis dengan warna tokoh komik kesukaanku.
Waktu demi waktu berlalu, Jim makin tidak pernah bermain dengan kami.
Entah kenapa mama sering sekali marah pada Don.
Seringkali kudengar mama bilang ,"mama pukul kamu karena mama sayang kamu!"
Aku gak ngerti.
Bukannya sayang itu tidak menyakiti ya?
"Sayang..."
"Sayang..."
Suara Jim memanggilku sambil berbisik.
"Kamu mau tentara mainan yang kamu sukai itu jadi milikmu?"
"Mau kak, mau!" jawabku cepat.
"Tapi kamu harus melakukan sesuatu buat buktiin kamu sayang kakak."
-Soka-