Siang ini aku menyambut kedatangan ketiga keponakanku yang malang.
Sudah sejak pagi aku bersibuk-sibuk mengatur para pelayan agar mempersiapkan tiga kamar berikut kebutuhan mereka semua.
Jim, Don dan Soka... otak tuaku masih sanggup mengingat nama-nama mereka, bahkan segala kenangan bersama mereka ketika mereka masih sering ke sini.
Tetap diantar oleh Pak Seto, sopir yang tidak tahu kapan harus menutup mulutnya.
Tapi dari dialah aku tahu bahwa keadaan ketiga keponakanku dalam keadaan terancam.
Ayah mereka telah beberapa minggu tidak pulang, dan ibunya semakin kelihatan seperti bukan dirinya.
Pfft... ternyata mewarisi puri orang tuaku bisa membuat orang menjadi gila juga.
Untunglah aku memilih hidup sendiri di sini, di samping danau yang tenang ini, ditemani Pogo, anjingku.
Jim terlihat seperti remaja yang cukup stabil. Dia tampan seperti ayahnya. Pasti dia adalah pria yang cukup populer di sekolahnya.
Don...mmm.... aku tidak tahu tentang dia. Matanya begitu menyala-nyala namun juga tidak memiliki keberanian untuk berbicara denganku sambil bertatapan mata. Tulang punggungnya agak bengkok. Entah dari mana dia mendapatkannya. Aku tidak ingat dia memiliki itu saat masih kecil.
Soka si cantik... seperti tidak perduli dia ada di mana. Aku berpikir, seandainya Pak Seto tidak mengantarnya ke mari, melainkan ke tempat yang lain... apakah dia juga seriang ini?
Tapi aku merasa bersyukur mereka diantar ke tempat ini, dan bukan ke tempat Inggrid, saudariku yang penuh patah hati.
Tapi mungkin aku harus berbicara dengannya mengenai tulang punggung Don yang bengkok. Konon Maurice bisa melakukan hal-hal ajaib.
Kemudian kuajak anak-anak masuk. Pak Seto dengan penuh antusias membawakan barang-barang mereka. Sesuai dugaanku, semua anak merasa bahagia mendapatkan kembali kamar-kamar yang dulu biasa mereka perebutkan. Hanya saja, kali ini tanpa mainan-mainan yang kini sudah usang tentunya.
Malam ini, kami akan berbincang-bincang dengan mereka. Sekarang waktunya mereka bebersih diri. Yah, aku cukup kenal gaya berkendara Pak Seto sehingga cukup tahu ada asap dan kotoran setebal apa pun akan dia tembus dengan mobil itu.
Hari kedua bersama anak-anak...
Aku bangun pagi tidak seperti biasanya, sudah ada keramaian suara anak-anak dan para pegawai di luar. Huh... mungkin ini seharusnya kubahas tadi malam saat makan malam. Aku menyukai ketenangan.
Bergegas aku keluar, melihat kerumunan di bawah jendela utama.
Perasaanku tiba-tiba menjadi aneh. Ada apa ini?
Kuterobos kerumunan, kulihat wajah pucat para pegawaiku.
Kulihat Pogo merayap meningalkan jejak darah yang berasal dari Don yang memegang gunting rumput di tangan kanan dan sesuatu yang tadinya milik Pogo di tangan kirinya.
-Stella-
Sudah sejak pagi aku bersibuk-sibuk mengatur para pelayan agar mempersiapkan tiga kamar berikut kebutuhan mereka semua.
Jim, Don dan Soka... otak tuaku masih sanggup mengingat nama-nama mereka, bahkan segala kenangan bersama mereka ketika mereka masih sering ke sini.
Tetap diantar oleh Pak Seto, sopir yang tidak tahu kapan harus menutup mulutnya.
Tapi dari dialah aku tahu bahwa keadaan ketiga keponakanku dalam keadaan terancam.
Ayah mereka telah beberapa minggu tidak pulang, dan ibunya semakin kelihatan seperti bukan dirinya.
Pfft... ternyata mewarisi puri orang tuaku bisa membuat orang menjadi gila juga.
Untunglah aku memilih hidup sendiri di sini, di samping danau yang tenang ini, ditemani Pogo, anjingku.
Jim terlihat seperti remaja yang cukup stabil. Dia tampan seperti ayahnya. Pasti dia adalah pria yang cukup populer di sekolahnya.
Don...mmm.... aku tidak tahu tentang dia. Matanya begitu menyala-nyala namun juga tidak memiliki keberanian untuk berbicara denganku sambil bertatapan mata. Tulang punggungnya agak bengkok. Entah dari mana dia mendapatkannya. Aku tidak ingat dia memiliki itu saat masih kecil.
Soka si cantik... seperti tidak perduli dia ada di mana. Aku berpikir, seandainya Pak Seto tidak mengantarnya ke mari, melainkan ke tempat yang lain... apakah dia juga seriang ini?
Tapi aku merasa bersyukur mereka diantar ke tempat ini, dan bukan ke tempat Inggrid, saudariku yang penuh patah hati.
Tapi mungkin aku harus berbicara dengannya mengenai tulang punggung Don yang bengkok. Konon Maurice bisa melakukan hal-hal ajaib.
Kemudian kuajak anak-anak masuk. Pak Seto dengan penuh antusias membawakan barang-barang mereka. Sesuai dugaanku, semua anak merasa bahagia mendapatkan kembali kamar-kamar yang dulu biasa mereka perebutkan. Hanya saja, kali ini tanpa mainan-mainan yang kini sudah usang tentunya.
Malam ini, kami akan berbincang-bincang dengan mereka. Sekarang waktunya mereka bebersih diri. Yah, aku cukup kenal gaya berkendara Pak Seto sehingga cukup tahu ada asap dan kotoran setebal apa pun akan dia tembus dengan mobil itu.
Hari kedua bersama anak-anak...
Aku bangun pagi tidak seperti biasanya, sudah ada keramaian suara anak-anak dan para pegawai di luar. Huh... mungkin ini seharusnya kubahas tadi malam saat makan malam. Aku menyukai ketenangan.
Bergegas aku keluar, melihat kerumunan di bawah jendela utama.
Perasaanku tiba-tiba menjadi aneh. Ada apa ini?
Kuterobos kerumunan, kulihat wajah pucat para pegawaiku.
Kulihat Pogo merayap meningalkan jejak darah yang berasal dari Don yang memegang gunting rumput di tangan kanan dan sesuatu yang tadinya milik Pogo di tangan kirinya.
-Stella-